Stres Kronis

Pada umumnya, orang mengartikan stres sebagai kondisi dimana homeostasis tubuh
terancam atau terganggu (Swain, 2000; Sherwood, 2012). Faktor internal atau eksternal yang
mengganggu maupun berpotensi untuk menganggu homeostasis disebut stressor (Swain, 2000) atau secara sederhana stressor adalah penyebab dari stress. Banyak penelitian yang mengkaji lebih lanjut mengenai stressor fisik dan stressor psikologis (Jafari et al., 2014). Oleh karena stressor tersebut, terdapat urutan respon yang mengakibakan perubahan pada kondisi tubuh, disebut dengan respon stres (McEwen, 2008; Sherwood, 2012; Tortora & Derrickson, 2014). Respon stres dibagi menjadi 3 tahap yaitu (1) respon alarm atau respon fight or flight, (2) respon pertahanan, dan (3) tahap kelelahan (Thoits, 2010).

Respon stres dibagi menjadi dua jenis berdasarkan durasinya yaitu respon stres akut
dan kronik. Pada respon stres akut, kortisol (dari aksis HPA), akan meningkatkan sumber
energi yang tersedia melalui lipolysis, glukoneogenesis, katabolisme protein, lalu produk
akhir yang dihasilkan yaitu glukosa, asam lemak, dan asam amino akan lebih banyak
didistribusikan ke organ yang paling membutuhkan yaitu otak, otot skelet, dan jantung
karena adanya dilatasi pembuluh darah ke organ-organ tersebut melalui aksi katekolamin
(Schneiderman et al., 2005; Tortora & Derrickson, 2014). Respon stres kronik disebabkan
oleh paparan stressor yang berulang atau kontinyu dan berlangsung lama.Stres kronik dapat
meningkatkan risiko untuk terjadinya penyakit dan memperparah penyakit yang sudah ada
sebelumnya, terutama penyakit yang berkaitan dengan inflamasi (Cohen et al., 2012).Hal ini
menunjukkan bahwa ada kaitan antara stres dengan inflamasi, yang diduga dimediasi oleh
hormon-hormon stres yaitu katekolamin dan glukokortikoid (kortisol).